Langsung ke konten utama

Postingan

Teka-Teki Pembuatan Jagat Raya Dalam Puisi-Catatan Kaki Untuk Buku Puisi-Resep Membuat Jagat Raya-Abinaya Ghina Jamela

Teka-Teki Pembuatan Jagat Raya Dalam Puisi Berbicang-bincang tentang puisi-puisi pilhan Abinaya Ghina Jamela ini dalam antologi tunggalnya Resep Membuat Jagat Raya. Seorang perempuan cilik yang masih berusia tujuh tahun ini asal Padang Sumatra Barat. Jiwa saya seperti terbawa ke masa kanak-kanak kembali ketika membacanya, karena puisi-puisinya yang jujur dengan lugas mengungkapkan perasaanya tampa muluk-muluk mengolah kata, dengan menyusupkan tema-tema sosial sekaligus seperti keunikan pada setiap judulnya, misalkan  Mi, Es Krim 1, Es Krim 2 dan Wafer  atau tentang hewan  Nyamuk, Kodok, Ayam,  dan masih banyak beragam jenis tema namun Abinaya dengan riang mampu mengungkapkan dengan puitis. Penyair ini sangat muda lahir Oktober 2009 sudah mampu menulis puisi sepeka ini, barangkali bagi saya Abinaya-lah yang paling kecil di antara penyair-penyair cilik di Indonesia. Namun jangan heran jika kelak ia mampu dengan senjata puisi-puisinya yang unik mengalahkan karya penyair-penyair ya
Postingan terbaru

[TERBANG CINTA] Merekonstruksi Cinta Hakiki Kehidupan Sehari-hari

Cinta menenangkan jiwa, di tengah terbelit beribu persoalan politik dan kekuasaan yang sedang rancu. Seperti yang kita lihat, diluar lintas Negara kita. Kepedihan orang-orang di berbagai negara maju tersebut. Seperti peperangan Amerika dan Korea Utara, yang sedang memanas sampai kini. Di kedua negara tersebut. Kerusuhan setiap hari terjadi, dan tiap pagi kita melihatnya berita-berita dalamTelevisi. Atau, kita sekedar membacanya lewat selembar koran, dengan perasaan getir tak tertahan. Barangkali dengan terbitnya buku  Terbang Bersama Cinta,  mampu menyembuhkan hati yang terluka karena peperangan yang terus menggema di kedua negara tersebut. Sebab, keluar dari pembahasan buku ini. Ingin melakukan atau bertindak segala hal apa pun, tampa di dasari rasa cinta dan kasih sayang sesama, tak mungkin berjalan dengan indah dan damai. Jika saya lihat, pertempuran tentara-tentara AS dan Korut, barangkali mereka tidak berdasarkan cinta dalam menyelesaikan persoalan. Lalu kembali pada cinta da

Orang-Orang Tambalsulam Terpinggirkan (Resensi buku Ulang Tangga-Anindita S. Thayf)

DALAM  novel Ular Tangga, Anindita bercerita sebagai tokoh bocah istimewa dan pemberani yang ingin mengungkap sejarah kelam kondisi sosial orang-orang kumuh di daerah Tambalsulam, dengan dibumbui celotehan-celotehan satir terhadap pemerintah yang kurang peduli kepada rakyat jelata di daerah pedalaman. Bocahlah di sini yang menjadi tokoh penting untuk menyampaikan gagasan-gagasan satirnya, dengan ditemani tokoh-tokoh absurdnya: Sungai Purba, Rel Kereta Tua, Nenek, Bung Anu, dan Kerakbesi. Saya kadang kesulitan membedakan mana nama tokoh dan mana nama tempat. Sebab, semua tokoh dalam novel ini tidak memiliki nama sebagai identitas yang menunjukkan sebagai nama diri. Hanya dalam Tanah Tabu-lah yang tokohnya memiliki nama diri. Seperti Leksi, Pum, dan Kwee di antaranya. Mengenai cerita satir, barangkali sudah menjadi ciri khas Anindita untuk menuangkan unek-unek imajinya ke dalam cerita yang kemudian menjadi novel. Seperti cuplikan cerita dalam novelnya sebagai berikut,

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani (Resensi-Hakekat Tuhan-Cicero)

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani Memperdebatkan ada dan tidak adanya Tuhan dalam realitas hidup yang kita rasakan ini: memang tidak ada pangkal ujung kalah dan menangnya–meskipun dari pakar filsafat yang memang tujuannya belajar filsafat hanya untuk mencari jejak-jejak keberadaan Tuhan. Misalnya ketika saya sesekali ikut dalam forum-forum diskusi filsafat–yang mepertanyakan hakekat Tuhan: apakah kita percaya bahwa tuhan itu tidak ada. Atau kita percaya bahwa Tuhan itu ada hanya menurut keyakinan hati nurani kita, karena Tuhan tak bisa dilogiskan secara pemikiran. Sesungguhnya disitulah yang menjadi misteri dari zaman ke zaman yang selalu diperdebatkan oleh pemikir-pemikir filsafat kontemporer sekarang ini. Sebab, terkadang di dalam diskusi-diskusi mengenai Tuhan berakhir dengan ketidakpuasan sebuah kesimpulan tentang kepastian Tuhan: ada atau tidak ada. Namun, adakah mereka tahu: bahwa sesungguhnya memperdebatkan hakikat Tuhan, tidak hanya berdasar

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo; Faisal Oddang)

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo) Dalam kitab La Galigo telah dijelaskan bahwa ada sepasang pemimpin di Dunia Tengah –pertama adalah manusia laki-laki yang datang dari Dunia Atas–dan yang kedua adalah manusia perempuan yang datang dari Dunia Bawah. Namun agar seimbang dalam hidup manusia, maka diturunkanlah pula manusia bissu, sebagai pengatur tatanan spiritual di muka bumi. Perlu diketahui bahwa seorang bissu bukan laki-laki, bukan pula perempuan dan bukan jua waria atau apalah sebutan yang berkenaan dengan itu. Namun lebih tepatnya, bissu adalah sesok penasehat di tanah Wojo–dan tidak gampang menjadi seorang penasehat di tanah itu. Karena yang menjadi bissu hanyalah orang-orang pilihan Dewata yang sudah diberi wahyu hlm. 60. Itulah pokok isi dari kisah yang diangkat dalam novel Tiba Sebelum Berangkat-nya Faisal Oddang–yang ditulis kira-kira pada rentang tahun 2016-2018. Memang tidak salah jika saya mengakatan bahwa menulis novel sejarah itu berat–setelah

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault”

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault” Oleh : Novi Kamalia Abstraksi Ada beberapa pertanyaan yang terus mengusik dan mengganggu pikiran saya pribadi sejak dulu, yaitu tentang perempuan, seks, dan kultur, mengapa perempuan harus ‘perawan’ sebelum menikah?. Mengapa keperawanan menjadi satu-satunya ukuran perempuan baik-baik?, Mengapa perempuan selalu disalahkan ketika tidak mampu hamil?, dan yang lebih mirisnya lagi, mengapa perempuan dengan mudahnya menerima semua itu sebagai takdirnya yang memang harus dijalani tanpa adanya sikap kritis?. Lalu bagaimana dengan laki-laki, apakah laki-laki juga harus perjaka sebelum menikah?, lalu apa tandanya?. Tak bisakah sistem pemilu diadopsi oleh laki-laki, setelah ‘nyoblos’ langsung pake ‘tinta’?. Lalu apakah laki-laki juga memikul beban salah, jika ia tak memiliki keturunan? Pertanyaan itu terus membuat saya muak dan marah, karena saya sebagai perempuan menganggap ini sangat tidak adil. Ironisnya