Langsung ke konten utama

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo; Faisal Oddang)

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo) Dalam kitab La Galigo telah dijelaskan bahwa ada sepasang pemimpin di Dunia Tengah –pertama adalah manusia laki-laki yang datang dari Dunia Atas–dan yang kedua adalah manusia perempuan yang datang dari Dunia Bawah. Namun agar seimbang dalam hidup manusia, maka diturunkanlah pula manusia bissu, sebagai pengatur tatanan spiritual di muka bumi. Perlu diketahui bahwa seorang bissu bukan laki-laki, bukan pula perempuan dan bukan jua waria atau apalah sebutan yang berkenaan dengan itu. Namun lebih tepatnya, bissu adalah sesok penasehat di tanah Wojo–dan tidak gampang menjadi seorang penasehat di tanah itu. Karena yang menjadi bissu hanyalah orang-orang pilihan Dewata yang sudah diberi wahyu hlm. 60. Itulah pokok isi dari kisah yang diangkat dalam novel Tiba Sebelum Berangkat-nya Faisal Oddang–yang ditulis kira-kira pada rentang tahun 2016-2018. Memang tidak salah jika saya mengakatan bahwa menulis novel sejarah itu berat–setelah saya selesai membaca novel ini. Karena Faisal sediri mengatakan dalam bentuk keterangan di bagian novelnya; bahwa ada tiga buku sebagai acuan konflik dan kekerasan budaya, seni dan agama yang terjadi di Sulawesi Selatan dalam menulis buku novel tersebut. Pertama, buku Peristiwa Sulawesi Selatan 1950 karyanya Mayor Bardosono, kedua, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karyanya Wijiya Herlambang dan yang ketiga, adalah disertasinya Yerry Wirawan yang dibukukan dengan judul Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar hlm. 201. Memasuki cerita dalam novel Faisal–kisah ini berawal dari perjalanan Mapata sebagai toboto:lelaki yang tinggal bersama bissu yang menjadi pedampingnya atau sesekali bisa menggantikan peran bissu setelah melewati ritual yang dilakukan Puang Matua Rusmi; nama tokoh cerita yang tinggal di tanah Wojo yang menjadi bissu sebagai penganut kepercayaan Bugis itu. Namun sebelum Mapata benar-benar menjadi pendamping bissu Puang Matua Rusmi, jauh-jauh hari Mapata telah ada kode-kode dalam dirinya. Ternyata kode itu adalah penyakit yang bersemayam dalam tubuh Mapata yang semakin lama tambah parah–yang ia rasa selalu ada tubuh perempuan dalam tubuhnya sendiri. Setelah ia mempunyai pengalaman buruk di masa kecilnya bersama ayah tirinya di kamar mandi–Bakeri namanya, ayah tiri yang kerap membersihkan pantat anak tirinya sendiri dengan penisnya di waktu kecil dalam kamar mandi hlm. 30. Sejak itu penyakit Mapata semakin parah sampai dewasa; mulai dari suka sesama jenis–sampai ketagihan jika diraba-raba oleh kawan sejenisnya sendiri. Dan, sampailah pada akhirnya sakit parah itu terjadi pada tubuh Mapata. Melalui catatan Sumiharjo (lelaki Jawa yang menjadi anak buah Ali Baba sebagai pengirim surat) yang sesekali menceritakan keadaan Mapata kepada Ali Baba–seorang anggota TII (Tentara Islam Indonesia) yang sangat ditakuti oleh kaum bissu. Intinya surat itu berbunyi; “tak ada yang percaya bahwa saya hidup tampa makan dan minum selama tujuh puluh tujuh hari, sungguh tidak ada yang percaya selain Puang Matua Rusmi–pemimpin bissu di Wajo. Hari ketujuh puluh tujuh itu, beliau datang ke rumah saya dan mengatakan kamu telah terpilih hlm. 60.” Dari situlah Mapata diberi wahyu oleh Dewata sebagai toboto-nya Puang Matua Rusmi yang satu-satunya menjadi bissu di Wajo. Akan tetapi menjadi pendamping bissu tidak gampang di tengah masyarakat pada era 1950-an itu. Mungkin harus siap luar-dalam menghadapi omongan warga. Bahkan menjadi bissu pun banyak tantangannya–misalkan harus siap jika sesekali gorilla atau anggota TII mengobrak-abrik rumah arajang, yang juga sebagai rumah Puang Matua Rusmi. Karena bagi TII–bissu sangat tidak sesuai dengan ajaran islam karena mereka menganggapnya lelaki yang menyalahi kodrat manusia yang berubah menjadi perempuan dan bahkan mereka menuduhnya sebagai komunis. Selain itu kemarahan TII tidak hanya menghabisi bissu–namun mereka juga membakar rumah arajang yang katanya menyimpan berhala dan bissu pun dituduh pemuja berhala hlm. 76. Namun, perlu kalian tahu–bahwa bissu di mata masyarakat primitif di Sulawesi Selatan yang masih percaya pada kehebatannya, ia sangat dihormati sebagai penasehat. Disamping itu, bissu jua mempunyai ilmu kekebalan tubuh. Seperti pada tahun 1965 pasca kekerasan budaya, agama dan seni di Sulawesi Selatan sedang terjadi–anggota TII turun ke kampung-kampung–ada yang menembak mata bissu, namun hanya seperti debu yang menyentuh kulit–atau lemparan tombak mengenai perutnya, hanya seperti daun jatuh menimpa kepalanya. Alangkah hebatnya bissu itu–sehingga setiap orang takut mencari gara-gara padanya, kecuali anggota TII tersebut. Kemudian kembali lagi pada perjalanan Mapata–karena cerita dalam novel Tiba Sebelum Berangkat itu sering terpenggal-penggal akibat keterangan yang terlalu banyak mengganggu alur cerita–jadi saya pun ikut terpenggal-penggal meresensi buku ini. Tapi itu bukan masalah bagi seorang pembaca dan peresensi–namun yang bermasalah kini nasib Mapata yang makin perihatin setelah dilantik sebagai toboto oleh bissu. Mapata resah atas prilaku bissu Puang Matuang Rusmi yang tak senonoh menyetubuhinya dengan seringgnya. Pada akhirnya Mapata muak dengan sikapnya, kemudian ia pergi dari arajang setelah bertemu Batari–kawan SD-nya dulu. Itulah setengah kisah yang menjadi bumbu-bumbu penyedap cerita dalam novel Faisal kali ini. Dan, yang paling saya suka adalah cara menutup sebuah cerita dalam novel dari seorang Faisal. Faisal menutupnya dengan cara yang tak bisa aku terka kemana akhiran dari sebuah cerita itu. Faisal menutupnya dengan cerita setelah Batari hamil diluar nikah–namun Mapata menyangkanya dirinyalah yang menghamilinya. Karena ia sadar sesekali pernah mencicipi tubuh Batari. Kemudian mereka kawin–namun tak sampai tiga bulan usia pernikahan mereka–Batari tiba-tiba melahirkan seorang bayi perempaun bernama Walida. Namun ketika Mapata melihat wajah anaknya seakan tak ada kerimip-miripannya dengan wajah ibunya ataupun bapaknya. Ternyata apa yang terjadi, bayi yang dilahirkan Batari bukan hasil hubungannya dengan Mapata. Namun hasil dari persetubuhan Batari dengan tukang pengirim surat yang nyatanya tak sampai-sampai di tangan Mapata–iya itu Sumiharjo orang Jawa itu–iya anak itu hasil air mani orang itu. Itulah kisah novel Faisal, singkat–padat dan mengejutkan pembaca. Namun perlu diketahui kembali–agar tidak ada salah-paham antara cerita bertema sejarah dalam novel ini dengan psikologi Anda ketika sedang membaca buku ini. Bahwa novel ini hanya karangan fiksi belaka yang hanya ingin menanggapi kisah-kisah teks sejarah tentang Sulawesi Selatan tahun 1950–sebagai penghormatan pada tanah kelahirannya sendiri, karena Faisal telah memperingatkan di halaman 215. Maka di luar fakta atau fiksinya sebuah cerita yang disuguhkan penulis, itu sesungguhnya bukan urusan saya sebagai pembaca. Bagi saya, yang terpenting saat ini–bagaimana karya sastra seperti novel Tiba Sebelum Berangkat ini sebagai cara untuk memperkenalkan sejarah kepada remaja-remaja masa kini–yang mungkin masih kurang minat membaca keistimewaan sejarah. Karena sejarah akhir-akhir ini dalam pandangan saya mulai dilupakan oleh pembaca–mungkin akibat cara penyampaiannya dan kemasannya yang kurang menarik. Sesungguhnya sejarah adalah warisan jejak nenek-moyang kita yang paling berharga–sebab tanpa sejarah kita tidak akan tahu bagaimana gambaran kehidupan di masa lalu. Kan, Seokarno telah memperingatkan pada kita; jangan sekali-kali melupankan sejarah. Sebab bila sejarah terlupakan–lantas apa yang harus kita banggakan dari masa silam. Maka saya berharap pada pegiat-pegiat sastra masa kini untuk terus melestarikan sejarah dalam bentuk karya-karya sastra yang lebih menarik dan enak dibaca. Seperti apa yang telah dibuktikan Faisal Oddang ini dengan karya-karyanya yang tidak pernah melenceng dari tema sejarah dan lokalitas; diantaranya novel Tiba Sebelum Berangkat, Manurung dan Puya ke Puya. * Yogyakarta-2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani (Resensi-Hakekat Tuhan-Cicero)

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani Memperdebatkan ada dan tidak adanya Tuhan dalam realitas hidup yang kita rasakan ini: memang tidak ada pangkal ujung kalah dan menangnya–meskipun dari pakar filsafat yang memang tujuannya belajar filsafat hanya untuk mencari jejak-jejak keberadaan Tuhan. Misalnya ketika saya sesekali ikut dalam forum-forum diskusi filsafat–yang mepertanyakan hakekat Tuhan: apakah kita percaya bahwa tuhan itu tidak ada. Atau kita percaya bahwa Tuhan itu ada hanya menurut keyakinan hati nurani kita, karena Tuhan tak bisa dilogiskan secara pemikiran. Sesungguhnya disitulah yang menjadi misteri dari zaman ke zaman yang selalu diperdebatkan oleh pemikir-pemikir filsafat kontemporer sekarang ini. Sebab, terkadang di dalam diskusi-diskusi mengenai Tuhan berakhir dengan ketidakpuasan sebuah kesimpulan tentang kepastian Tuhan: ada atau tidak ada. Namun, adakah mereka tahu: bahwa sesungguhnya memperdebatkan hakikat Tuhan, tidak hanya berdasar

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault”

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault” Oleh : Novi Kamalia Abstraksi Ada beberapa pertanyaan yang terus mengusik dan mengganggu pikiran saya pribadi sejak dulu, yaitu tentang perempuan, seks, dan kultur, mengapa perempuan harus ‘perawan’ sebelum menikah?. Mengapa keperawanan menjadi satu-satunya ukuran perempuan baik-baik?, Mengapa perempuan selalu disalahkan ketika tidak mampu hamil?, dan yang lebih mirisnya lagi, mengapa perempuan dengan mudahnya menerima semua itu sebagai takdirnya yang memang harus dijalani tanpa adanya sikap kritis?. Lalu bagaimana dengan laki-laki, apakah laki-laki juga harus perjaka sebelum menikah?, lalu apa tandanya?. Tak bisakah sistem pemilu diadopsi oleh laki-laki, setelah ‘nyoblos’ langsung pake ‘tinta’?. Lalu apakah laki-laki juga memikul beban salah, jika ia tak memiliki keturunan? Pertanyaan itu terus membuat saya muak dan marah, karena saya sebagai perempuan menganggap ini sangat tidak adil. Ironisnya