Langsung ke konten utama

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault”

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault” Oleh : Novi Kamalia Abstraksi Ada beberapa pertanyaan yang terus mengusik dan mengganggu pikiran saya pribadi sejak dulu, yaitu tentang perempuan, seks, dan kultur, mengapa perempuan harus ‘perawan’ sebelum menikah?. Mengapa keperawanan menjadi satu-satunya ukuran perempuan baik-baik?, Mengapa perempuan selalu disalahkan ketika tidak mampu hamil?, dan yang lebih mirisnya lagi, mengapa perempuan dengan mudahnya menerima semua itu sebagai takdirnya yang memang harus dijalani tanpa adanya sikap kritis?. Lalu bagaimana dengan laki-laki, apakah laki-laki juga harus perjaka sebelum menikah?, lalu apa tandanya?. Tak bisakah sistem pemilu diadopsi oleh laki-laki, setelah ‘nyoblos’ langsung pake ‘tinta’?. Lalu apakah laki-laki juga memikul beban salah, jika ia tak memiliki keturunan? Pertanyaan itu terus membuat saya muak dan marah, karena saya sebagai perempuan menganggap ini sangat tidak adil. Ironisnya hal ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, yang memiliki aneka kultur yang berbeda. Entah mengapa untuk urusan ini, semua daerah di Indonesia menjadi kompak?, yaitu menjadikan perempuan sebagai subordinasi dalam konteks seksualitas. Bukankah seks itu adalah simbol kesenangan, namun mengapa menyisakan kesedihan bagi satu pihak, yaitu perempuan. Lalu apa sebenarnya yang terjadi?. Sejak kapan seks menjadi tabu?, mengapa ketika kita memperbincangkannya, selalu muncul sikap atau perkataan permisif, dengan bahasa, ‘maaf’, yang seakan-akan memperbincangkannya adalah sesuatu yang memalukan dan membahayakan. Hal ini menunjukkan bahwa wacana seks berkaitan dengan kekuasaan kultur, yang siapa pun yang memperbincangkannya akan dianggap sebagai pihak yang tidak tahu sopan santun, atau buta etika, sebab seks dianggap sebagai sesuatu yang privat dan tidak perlu menjadi konsumsi publik. Lalu mengapa demikian?. Ada kisah menarik yang terjadi di angkutan umum (taksi) jurusan Pamekasan-Bangkalan tadi pagi, yaitu obrolan antara sopir, kernit dan beberapa penumpang yang lebih banyak didominasi oleh laki-laki tentang pertandingan sepakbola piala dunia. Sementara beberapa penumpang perempuan lainnya hanya diam dan sesekali tertawa mendengar obrolan para lelaki yang ‘menyerempet’ pada obrolan seks dengan sedikit dikaburkan. Sang kernet berkata, “Yang nge-gol-kan bolanya adalah si botak, dan yang jaga gawangnya si brewok”. Spontan semua penumpang tertawa cekikikan, khususnya penumpang yang memang benar-benar nonton pertanding sepak bola, sebab realitanya, pertandingan semalam, tidak ada satupun pemain yang botak atau brewok. Obrolan itu terus mengalir karena semua penumpang paham apa yang dimaksud dengan pernyataan si Kernet tersebut, yaitu mengarah pada perbuatan seks. Semakin lama, wacana atau obrolan seks semakin kabur dan tabu, bahkan sengaja dikaburkan untuk menjaga etika dan kesopan-santunan dalam sosial. Tapi mengapa harus demikian, bukankah seks bukan sesuatu yang salah ?. Jika memang seks itu salah, lalu mengapa sering menjadi bahan obrolan, bahkan menjadi bahan lelucon untuk sekedar menjernihkan pikiran yang kaku dan beku. Jangan-jangan seks itu tidak salah tapi lucu?. Persoalan seks memang bukan hal yang sepele. Seks bukan hanya sekedar sensasi dan kenikmatan atau hukum. Tetapi didalam seks dipertaruhkan masalah benar dan salah, patut dan tidak patut. Mengetahui apakah dalam seks itu benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan?. Mari kita selusuri dengan menggunakan pemikiran Foucault, dengan mengawali pada biografinya. Siapakah Foucault itu.......? Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Pointiers, sebuah kota yang terletak di Negara Perancis. Ayah Foucault adalah seorang dokter ahli bedah di Pointier dan merupakan guru besar dalam bidang anatomi di Perguruan Tinggi. Namanya Paul Foucault. Jadi, Foucault dengan demikian adalah nama keluarga. Kakek Foucault juga seorang dokter ahli bedah. Kakek Foucault berasal dari Fontaineblu. Ayah Foucault mengawini Anne Malapert, ibu Foucault yang juga anak dari seorang dokter ahli bedah. Mereka tinggal di sebuah rumah asri di Pointier yang dibangun oleh ayah Anne, Dokter Malapert pada tahun 1903. Keluarga dokter bedah ini dikaruniai tiga orang anak. Yang pertama seorang perempuan diberi nama Francine, yang kedua adalah Paul Michel Foucault,, dan yang ketiga adik Foucault laki-laki yang bernama Deny.(Seno Joko, 2001:113) Sebagaimana anak-anak kecil Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault adalah masa kecil yang penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota mereka. Masa kecil Foucault adalah masa saat Jerman melakukan pendudukan di Perancis. Di Pointier, dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang rendah terbang keliling kota mencari target sasaran stasiun-stasiun kereta api. Pointier sendiri adalah sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak konsentrasi untuk disiksa. Karena minatnya yang besar pada bidang sejarah itulah kemudian menjadikan pertentangan yang hebat antara Foucault dengan ayahnya. Sebagai anggota keluarga ahli bedah, ayah Foucault menginginkan Foucault pun mengikuti jejaknya untuk menjadi dokter. Namun ibunya yang tahu benar minat putranya dalam bidang sejarah pun membela Foucault ketika berselisih degan ayahnya tentang keputusan Foucault untuk melanjutkan studinya setelah lulus college. Pada tahun 1943, setelah lulus college, Foucault bermaksud meneruskan studinya ke Ecole Normale Superieure untuk mempelajari sastra dan sejarah. Saat bersekolah di Ecole Normale inilah terlihat bakat-bakat kecerdasan Foucault, sekaligus sifat-sifat aneh Foucault. Selama bersekolah di sana, guru-guru serta teman-temannya mengakui bahwa Foucault adalah seorang anak yang jenius dan sekaligus juga punya perilaku yang tak lazim di kalangan teman-temannya. Ecole Normale memang sebuah sekolah yang menampung anak-anak cerdas di Perancis. Maka tak heran kemudian jika di sekolah tersebut dipenuhi dengan murid-murid yang bersikap eksentrik. Eksetriksitas boleh dikata sebagai style serta kultur siswa-siswa Ecole Normale. Namun eksentriksitas Foucault sangat lain dan paling tidak bisa dimengerti. Kelakuan paling aneh yang paling bisa disebut dalam diri Foucault selama ia sekolah di Ecole Normale Superiure adalah ia punya obsesi kuat untuk bunuh diri. Ia pernah ditemukan oleh gurunya tergeletak dilantai sekolah dengan nadi tangan berlumuran darah. Seringkali juga ia mencoba memotong nadinya. Hingga ayahnya kemudian membawanya kepada psikiater. Di depan psikiater inilah pertama kali ia mengakui bahwa ia adalah seorang homoseksual. Namun begitu, Foucault mau belajar psikologi. Ia membaca karya-karya Freud yang kelak akan sangat berkaitan dengan karyanya. Pada tahun 1955 Foucault bekerja sebagai instruktur Perancis di Upsalla, Swedia. Di sana ia membenamkan diri dalam perpustakaan untuk meneliti karya-karya kedokteran dari abd 16 sampai dengan abad 20. hal tersebut lah yang kemudian mengantarkannya pada karya pertama yakni Folie et deraison (Madness and Civilization). Kehidupan intelektual Foucault berubah dengan cepat pada akhir tahun 50-an dan tahun 60-an. Pada bulan Mei 1968, di Paris terjadi gelombang Revolusi yang besar. Para mahasiswa menduduki gedung-gedung Parlemen untuk menuntut diakhirinya semua lembaga hierarki. Aksi ini dipelopori oleh golongan kiri radikal yang menyatakan dirinya Maois. Pada tahun 1984 Foucault meninggal karena terkena AIDS, walaupun dia sendiri tidak mengetahui bahwa penyebab kematiannya adalah karena AIDS. Demikian sekilas biografi Michel Foucault. Tak banyak yang bisa diungkap dari pribadi Foucault, karena ia tak pernah menuliskan kehidupan pribadinya. Bagaimana Pemikarannya ....? 1. Arkeologi Pengetahuan Dalam awal karyanya Foucault mengupas tentang sebuah metodologi yang dinamakannya “Arkeologi Pengetahuan”. Dengan diterbitkannya buku The Archeology of Knowledge, pada tahun 1969 Foucault mengatakan bahwa seluruh buku-buku yang ditulisnya bergerak dalam fokus penelitian arkeologis. Terutama untuk The Order of Things, Madness and Civilization dan Birth of Clinic boleh dibilang merupakan batu loncatan untuk merumuskan secara luas pendekatan arkeologi yang ditelorkannya. Untuk menjelaskan bagaimana model beroperasinya pendekatan arkeologis, perlu kita pahami bahwa penelitian Foucault berpijak pada dua kosakata yakni Connaisance dan Savoir. Connaisance adalah terma yang digunakan oleh bahasa Jerman untuk merujuk pada sebuah korpus pengetahuan yang partikular, seperti Biologi, Ekonomi, Sejarah dan sebagainya. Sedangkan Savoir digunakan untuk merujuk pada pengetahuan yang general, bukan partikular. Savoir dapat dimaknai pengetahuan yang lebih umum, tanpa harus terkotak pada satu displin tertentu. Dalam Arkeologi Ilmu Pengetahuan, Foucault tertarik untuk melakukan penyelidikan terhadap fenomena kesejarahan. Dengan metode arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen pembentuk sejarah dengan menyelidiki ‘peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif’, ‘pernyataan-pernyataan yang dibicarakan’ dan ‘dituliskan’ dalam sebuah konteks sejarah. Pendekatan Arkeologi tidak memusatkan perhatian pada konteks epistemologis. Namun Foucault berusaha meneliti pengetahuan justru dalam ruang keberadaannya yang hidup sebelum materialisasi dan formalisasi disiplin-disiplin ilmu seperti Biologi, Matematika, Ekonomi dan sebagainya. Foucault berusaha melacak sebuah pola yang dalam pengetahuan akan mengakibatkan timbul dan eksis pengetahuan baru. Pola yang hanya karena arus sirkulasi dan dinamikanya dapat mendiferensiasikan ilmu dalam cabang-cabangnya. Bagi Foucault, arkeologi dititikberatkan pada objek, sesuatu yang tanpa konteks, artikel-artikel serta arsip-arsip yang tersisa pada masa lalu. Dari hal tersebut dalam buku The Order of Things, Foucault berusaha menjelaskan adanya keteraturan apriori pengetahuan atau Savoir. Menurut Foucault tiap-tiap jaman akan memiliki karakter yang berbeda-beda dengan jaman lainnya. Pada The Order of Things, Foucault membagi sejarah Eropa dalam tiga periode, yakni Renaisance (abad XVI), Klasik (abad XVII) serta modern (abad XIX) yang menunjukkan sebuah proses perubahan episteme yang mendasari karakter pengetahuan pada masing-masing masa tersebut. Dalam memahami sejarah Foucault melihat bahwa sejarah bukan sebagai rentetan kesinambungan tetapi sebagai suatu ‘diskontinuitas’. Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai sebuah keterputusan dimana sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan baru. Dalam setiap perubahan jaman terdapat perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme tiap jaman dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme. Dalam hal ini Foucault sepaham dengan kelompok sejarawan Perancis yang tergabung dalam Majalah Annales yang banyak mengupas dan menguraikan sejarah berdasarkan konsep seperti retakan, ambang, batas, seri. Peneliti-peneliti Annales semacam Michel Serres, Gaston Bachelard, George Canguilham semakin menonjolkan diskontinuitas yang dulu banyak dianggap oleh sejarawan sebagai sebuah hambatan utama untuk memahami sejarah. Perubahan episteme dalam setiap jaman yang tidak langsung sekali jadi tersebut dijelaskan Foucault dengan menerangkan bahwa telah terjadi penyebaran formasi diskursif dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana kondisi wacana kebenaran yang ada pada masyarakat, haruslah juga dilihat bagaimana pola penyebaran wacana yang ada. Proses distribusi wacana akan mengakibatkan sebuah rezim kebenaran yang akan menentukan apa yang dianggap benar dan tidak benar, penting dan tidak penting dalam sejarah. Dari hal tersebut perubahan persepsi masyarakat Eropa abad 16 sampai abad 19 tentang kegilaan seperti yang diteliti Foucault dalam bukunya Madness and Civilization, membuktikan adanya perubahan episteme yang mendasari pula perubahan pengetahuan yang ada pada masyarakat Eropa waktu itu. Tegasnya, realitas apapun tidaklah mendahului sebuah diskursus, tapi dikukuhkan dan dikonstitusikan oleh diskursus yang pada akhirnya membentuk episteme. Dalam rangka menyelidiki diskursus, Foucault menggunakan tiga konsep yakni positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan diskursus dalam satu periode. Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah ‘lingkup komunikas’ antar pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault disebut sebagai apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang menjadi syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai apriori historis masing-masing. Pada langkah selanjutnya kita perlu membedakan antara arkeologi pengetahuan dengan sejarah pemikiran. Pada dasarnya ada empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut, yakni : a. Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi, yang tersembunyi atau tampak dalam diskursus. Arkeologi lebih membahas diskursus itu sendiri sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya sendiri. b. Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar diskursus antar diskursus, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari diskursus itu sendiri. c. Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktek diskursif yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu arkeologi menolak kehadiran author sebagai bagian dari kesatuan kajian. d. Arkeologi tidak menyelidiki kelahiran diskursus tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek diskursus.(George Ritzer, 2003:72) Ciri yang menonjol dari arkeologi salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran author dalam mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa peniadaan peran author ini berguna untuk dapat mencari modus eksistensi dari sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran formasi diskursif. Karena modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka kita tidak dapat kemudian menyandarkannya pada author untuk bisa mengetahuinya. Cara mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat kehadiran pengarang saja tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar lingkaran author. Pada akhirnya Foucault merasa bahwa dalam arkeologi perlu menghilangkan fokus antropologis dan prasangka antropologis. Pembahasan tentang manusia akan menyesatkan serta mendistorsi pemikiran kita. Sebab individu-individu menurut Foucault adalah bentukan dari bentuk-bentuk epistemik pada tiap-tiap jaman. Hingga kalau Nietzsche telah mengatakan kematian tuhan, maka Foucault pun juga meramalkan kematian manusia. 2. Genealogi Kekuasaan Dalam tahap arkeologi, Foucault telah melakukan distingsi terhadap formasi-formasi diskursif dengan formasi nondiskursif. Mutasi penyebaran formasi diskursif dipandang sebagai proses independen dari formasi non diskursif seperti institusi. Pada tahap genealoginya Foucault mempunyai pandangan yang sedikit berbeda terhadap formasi non diskursif. Karena dengan mengandalkan formasi diskursif saja untuk menganalisa rezim kuasa kebenaran pada suatu jaman hanyalah impian yang bersifat ilusif. Sumber dari pemikirannya ini adalah essainya dalam kuliah di College de France pada tahun 1970 yang berjudul L’orde du Discourse. Dalam essainya itu disebutkan bahwa penyebaran formasi diskursif dalam kerangka pembentukan rezim kuasa kebenaran yang sebelumnya dikatakan bersifat alamiah, ternyata tidak bisa lepas dan tidak bisa bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol dari sekian banyak formasi non diskursif. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu berbahaya dan kekuasaan berusaha mengontrolnya. Foucault mendefinisikan ada empat domain dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni: politik (kekuasaan), seksualitas (hasrat), kegilaan dan secara umum apa yang dianggap benar atau palsu. Sama dengan Nietzsche yang mengidentifikasikan ‘hasrat untuk kebenaran’ dan hasrat untuk berkuasa’. Foucault menolak bahwa ilmu pengetahuan itu dikejar untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk kepentingan kekuasaan. Diskursus tentang kegilaan, politik ataupun seksualitas terpahami selama diarahkan pada pencapaian kekuasaan. Pada tahun 1971 Foucault mempublikasikan essainya yang berjudul ‘Nietzsche, Genealogy History’ yang menandakan selesainya masa transisi pemikiran Foucault dari era Arkeologi menuju ke Genealogi. Metode analisis diskursusnya bukan lagi model analisis teks, tapi sudah menuju pada analisis ‘tubuh’. Walaupun metode ini terinspirasi dari model Nietzsche, namun Foucault membuatnya berubah karakter sehingga genealogi yang tampil adalah dengan ciri dan gaya khas Foucault. Perbedaan yang khas antara genealogi Nietzsche dengan Foucault adalah jikalau genealogi Nietzsche menjadi sebuah alat analisis yang mempertanyakan dan membongkar adanya afiliasi-afiliasi masa lalu yang membuat ikatan-ikatan atau karakter masyarakat menjadi mengidentifikasi diri dengan hal-hal tertentu, (contoh bagaimana ketika Jerman mengidentifikasi diri memiliki double soul atas segala kebencian tak berdasar pada ras Yahudi) ini bisa kita lacak bagaimana pengidentifikasian ini muncul. Karakter-karakter tersebut lahir dari suatu proses konfrontasi yang panjang yang tumbuh dari permainan dominasi-dominasi yang melibatkan humanisme. Proses humanisme adalah proses yang berjalan pada individu sebagai bagian terkecil dari masyarakat, yang menyebabkan pikiran, tubuh, sampai moral memiliki identitas tertentu. Maka dengan genealogi Nietzsche berusaha membalik analisis tersebut dengan melacak titik konfrontasi, titik-titik dominasi dimana penyelewengan yang menumbuhkan ilusi itu terjadi.Hal ini dapat ditegaskan bahwa genealogi Nietzsche bergerak pada bidang humanisme dengan berusaha menciptakan tatanan moral diatas tatanan moral yang oleh Nietzsche dikatakan telah ambruk. Sementara Foucault mengambil fokus genealoginya pada proses pembentukan tubuh. Genalogi Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan berjalan untuk menguasai, mengontrol serta menundukkan tubuh manusia-manusia modern Eropa hingga seperti yang terjadi sekarang. Jadi pada tahap ini Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Ia ingin mengupas tentang bagaimana tubuh manusia meregulasi diri, mengontrol diri di bawah kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan yang diamini kebenarannya. Seksualitas dalam Wacana Dua hal yang sebenarnya tidak terpisahkan adalah kekuasaan dan seks. Bila berbicara tentang bagaimana peradaban kita terbentuk, dua elemen penting ini adalah penggerak utama yang mendorong perubahan. Setidaknya, itulah yang disampaikan Foucault. Kekuasaan adalah seks, seks adalah kekuasaan. Foucault bahkan menguraikan secara jernih sejarah seksualitas peradaban Barat, bagaimana kronik kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pemahaman tentang seksualitas. Uniknya, Foucault menjelaskan bahwa ada dua pengertian tentang seks, seks yang dipahami oleh peradaban Barat, dan seks yang dipahami peradaban Timur. Secara sederhana, pengertian tentang seksualitas memang diinterpretasikan berbeda di berbagai budaya. Ada yang mengatakan bahwa seks adalah tabu dan bukan topik yang pantas di bicarakan secara publik, namun ada pula pandangan yang menyatakan bahwa seks adalah bagian paling fundamental dari manusia. Foucault mengatakan, di dalam tubuh terpampang wujud dari kekuasaan. Kita bisa menyaksikan kekuasan dari gerak-gerik tubuh. Ia mengambil contoh bagaimana negara mengintervensi persoalan tubuh, khususnya seksualitas. Bahkan bagi Foucault seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik dari suatu negara berkaitan erat dengan seksualitas. Seksualitas berhubungan dengan populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang. Ada represi terhadap tubuh, dan represi itu adalah bentuk dari kontrol. Kekuasaan bekerja dengan cara mengkontrol, dan tubuh adalah objek yang dikendalikan dan dikuasai. Analisis Foucauldian semacam ini menunjukan bahwa sejarah perkembangan pemikiran manusia selalu melibatkan bagaimana suatu era memahami seksualitas. Tubuh selalu diperlawankan dengan kesucian. Gairah seksual dianggap menjerat manusia di bumi dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Tubuhlah penyebab dari kesengsaraan manusia, tubuh yang menyebabkan dosa. Terhadap anggapan ini, Foucault menjelaskan bagaimana tubuh adalah alat bagi penanaman nilai-nilai moral di dalam aktivitas beragama. Akan tetapi, tidak semua agama menyatakan bahwa tubuh adalah beban yang menjadikan manusia selamanya terhukum menjadi pendosa. Terdapat pula keyakinan-keyakinan yang menempatkan tubuh justru sebagai aparatus untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan. Salah satunya adalah Tantra , suatu bentuk keyakinan yang menyatakan bahwa melalui penjelajahan tubuh kita dapat mencapai tingkat kesadaran spiritualitas yang tinggi. Aliran Tantra meyakini bahwa tubuh memancarkan energi, dan bila tubuh dilatih secara tepat maka ia dapat mencapai suatu titik ketentraman. Tantra sebagai suatu praktik melibatkan individu untuk memahami dunia melalui tubuhnya. Relasi seksual bukan lagi relasi demi alasan prokreasi, atau mencari kepuasan yang dangkal. Relasi seksual bagi para Tantrika adalah suatu penjelajahan spiritual, tubuh adalah citra mungil dari makrokosmos yang tak berhingga. Ajaran Tantra meyakini bahwa ketika tubuh menyatu, sesungguhnya penyatuan tersebut adalah proses penciptaan yang serupa dengan cikal bakal dari keberadaan alam semesta. Foucault memuji bagaimana sekte maupun aliran yang menempatkan tubuh pada posisi dimana ia diciptakan untuk menerima dan memberikan kepuasan. Itulah yang kerap dilupakan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang tubuh manusia. Tubuh direduksi sebatas fungsi-fungsinya saja, seperti suatu perlengkapan yang mekanistik. Di dalam aliran Tantra, tubuh memang diperuntukan merasakan ekstase penyatuan tubuh. Tubuh adalah simbol menjelmanya kekuatan dewata ke dalam dunia. Lingga adalah representasi kekuatan maskulin, dan yoni representasi kekuatan feminin. Jika terpisah lingga dan yoni adalah entitas yang berbeda dan tersendiri, tetapi disaat lingga dan yoni menjadi satu, para Tantrika meyakini bahwa proses tersebut sakral dimana energi kosmos melebur dengan tubuh manusia. Aktivitas seksual tidak lagi dianggap sebagai suatu yang rendah, sebaliknya relasi seksual adalah ritus penyucian, dan cara bagi manusia menyerap energi jagat raya. Foucault menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang seks sarat dengan prasangka. Padahal, bagi Foucault, tidak cukup kita memahami tubuh dan perilaku seksual melalui narasi ilmu pengetahuan. Relasi seksual adalah suatu pengalaman. Suatu peristiwa yang menempatkan seseorang pada ruang dan waktu yang spesifik. Sebuah momen ketika seseorang sungguh-sungguh merasakan denyut kehidupan. Sensasi semacam ini, tidak dapat dirasionalisasikan. Bagi Foucault, relasi seksual adalah suatu seni, seni yang erotis. Relasi seksual hanya dapat dipahami seperti halnya kita mengalami sesuatu yang estetis, ada intensitas, keterlibatan emosi, rasa haru atau senang. Ars Erotica dari Foucault mengingatkan bahwa, meski manusia diunggulkan akal budinya, tetapi ia juga makhluk yang mengejar kenikmatan, yang secara alamiah memang mencari kepuasan ragawi. Seksualitas dapat disimak dari berbagai spektrum, seperti halnya Foucault yang mengatakan bahwa ada evolusi pemikiran manusia, dan evolusi itu berkaitan erat dengan bagaimana kita mengerti konsep seksualitas. Tantra dan Kama Sutra menyajikan ilustrasi yang berbeda tentang gairah seksual. Bahwa memiliki gairah adalah petanda perihal kemanusiaan kita. Gairah itulah yang menjadikan kita manusia. Terlepas dari itu semua, faktanya bahwa seks terlalu lama dipikirkan dalam kerangka penolakan atau peminggiran yang dijenuhkan oleh larangan dan sensor. Keluarga menggunakan seksualitas sebagai rejim yang meminggirkan keberadaan seks. Keluarga tidak boleh membicarakannya, sedang praktiknya harus sangat tertutup. Rejim seksualitas yang menyebabkan frustrasi secara sistematis ini, menurut Foucault, tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sistem kapitalis yang menolak pemahaman tubuh yang menikmati agar tidak menghabiskan enersi yang tak ada gunanya. Tujuannya, menggunakan semaksimal mungkin kekuatan tubuh untuk kerja. Terhadap hipotesa represif ini, Foucault ingin melawannya (Foucault, 1997: 18). Sejak abad ke-17 seksualitas adalah pewacanaan sistematis, yaitu dorongan untuk berwacana (Foucault, 1997: 20 ). Seks menjadi sesuatu yang harus dikatakan. Pewacanaan ini didorong oleh berbagai institusi. Gereja Katolik dengan pengakuan dosanya, kedokteran dan psikiatri dengan dalih pathologi, pemerintah dengan angka natalitas, institusi pendidikan dihadapkan pada seksualitas anak dan remaja. Tidak cukup puas dengan pengakuan dosa, penelitian batin diterapkan bagi orang Katholik untuk melokalisir dan mengkategorisasi dosa (melalui perbuatan, perkataan, pikiran, tindakan). “Dengan menggunakan bahasa, orang diajak memurnikan supaya seks tidak dikatakan secara langsung, tetapi diurusi dan diburu oleh wacana yang tidak akan membiarkannya dalam kegelapan dan tidak akan membiarkan istirahat” (1997: 29). Dan pada abad ke 18 dorongan politik, ekonomi dan teknik untuk bicara tentang seks, bukan lagi dalam bentuk teori umum tentang seksualitas, tetapi dalam bentuk analisa, klafikasi dan spesifikasi, dalam bentuk kuantifikasi dan kausalisasi. Tidak hanya aspek moral, tetapi juga rasionalitas. Tiba-tiba seks menjadi urusan polisi karena terkait dengan kekuasaan publik. Maka perlu penekanan terhadap pengaturan seks melalui wacana yang bermanfaat bagi publik, bukan sebuah represi (1997: 35). Maka seks dikaitkan dengan penduduk, kekayaan, tenaga kerja, kemampuan kerja, keseimbangan antara pertumbuhan dan sumber daya. Diperhitungkan juga berbagai variabel seks seperti natalitas, kelangsungan hidup, tingkat kesuburan, kesehatan, penyakit, makanan dan tempat tinggal (1997: 35, 36) Seks bukan hanya sebagai pertaruhan tubuh dan intensitas kenikmatan, tetapi sebagai subyek dan kebenaran hasratnya (Scientia sexualis). “Katakan bagaimana dan siapa yang kau inginkan, dan saya bisa mengatakan siapa kamu”. Pernyataan itu ingin mendeteksi bentuk-bentuk seksualitas yang ditutup-tutupi, akhirnya malah mendorong ke arah penyimpangan. Kodifikasi hukum sampai pada abad ke 18, menjamin seksualitas pasangan yang menikah sebagai yang paling sah. Maka larangan, aturan yang ketat sangat berperan, sedangkan bentuk-bentuk lain dianggap kacau dan bermasalah. Kasus-kasus bentuk seksualitas yang tidak bisa diterima (zoophile, sodomie, necrophilie) tidak diprotes sebagai penyimpangan, tetapi dihukum karena melanggar hukum. Jadi masalah seks menjadi masalah hukum. Sepanjang abad ke-19, masyarakat mengembangkan mekanisme kontrol perilaku individual, dan sekolah merupakan tempat permainan kekuasaan-pengetahuan ini. Seksualitas orang gila, anak-anak, kriminal dijaga, dalam arti dicegah dan dilarang, sedangkan pasangan yang menikah mempunyai hak meski penuh diskresi. Seksualitas anak menjadi keprihatinan utama. Pembagian kelas, pengaturan rekreasi, bentuk tempat tidur dengan pintu atau cukup dengan tirai, aturan perilaku waktu malam (1997: 39, 40). Jadi wacana institusional menggarisbawahi bahwa seksualitas itu ada, aktif dan permanen. Oleh karena itu, seks menjadi masalah publik. Maka para dokter, guru, keluarga, pendidik dan psikiater perlu mengawasi. Dari sejarah pewacanaan seks, dapat disimpulkan bahwa Foucault menggunakan konsep “wacana” lebih sebagai aturan-aturan, praktik-praktik wacana yang menghasilkan masalah-masalah yang bermakna dan diatur sepanjang periode sejarah. Wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang topik khusus pada periode sejarah tertentu. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa. Praksis sosial memerlukan makna, sedangkan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan. Jadi semua praktik sosial mengandung dimensi wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dan praksis sosial. Kekhasan masyarakat modern ialah, bukan membiarkan seks dalam gelap, tetapi paradoksnya ialah membiarkan selalu bicara tentang seks dengan meyakinkan bahwa seks adalah rahasia. Di lain pihak, ditemukan penyimpangan yang agak menjauh dari norma alamiah seperti homoseksualitas, sedangkan ketidaksetiaan tidak dianggap pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran hakikat manusia. Seksualitas menyimpang bukan lagi urusan jaksa, tetapi urusan dokter. Perilaku seks yang tidak umum dimasukkan ke kategori penyakit jiwa (1997: 50). Yang tidak umum adalah yang tidak sesuai dengan skema prokreasi. Di luar kerangka prokreasi, semua kenikmatan dianggap di luar norma. Perkembangan ke arah seksualitas yang bermasalah di luar pasangan suami isteri dan medikalisasi terhadap seksualitas menyimpang berakhir dengan membentuk suatu masyarakat menyimpang dengan berbagai bentuknya. Penunjukan dua gerak sejarah (seksualitas cerewet dan menyimpang) memungkinkan kesimpulan ganda: penolakan terhadap sejarah seksualitas yang disensor, perlawanan terhadap gambar represi kekuasaan yang mekanik. Kekuasaan bukan instansi yang melarang, tetapi menghasilkan, artinya menghasilkan pengetahuan dan bentuk-bentuk seksualitas. Abad XIX dan XX merupakan abad pergandaan seksualitas, semakin menguatnya bentuk-bentuk beragam, penyimpangan mulai mendapat tempat. Keragaman seksualitas makin diketahui. Memang seks pernah dianggap sebagai masalah keteraturan publik, maka jaksa dan polisi ikut mengatur. Seks yang sebelumnya ada di dalam ranah legal, lalu diserahkan ke ranah kesehatan sehingga menjadi masalah kedokteran. Perubahan rejim wacana seks ini menandai, di satu pihak, ada semacam penanganan yang melunak karena tidak lagi diadili atau dihukum; namun di lain pihak, muncul tindakan-tindakan yang lebih keras dengan adanya semua bentuk lembaga pengawasan dan mekanismenya yang diterapkan atas nama pedagogi maupun terapi (1997: 56). Kekuasaan sebagai rezim wacana masuk tahap baru karena medikalisasi dan terapi pathologi menjadi wacana dominan dalam pengaturan seksualitas. Sejarah seksualitas membahas masalah apa yang berfungsi pada abad XIX sebagai bidang kebenaran khas yang harus dibuat pertama-tama dari sudut pandang sejarah wacana (1997: 92). Tidak hanya masyarakat banyak bicara tentang seks, dan mendesak setiap orang untuk berbicara tentangnya; tetapi dari seks mau dirumuskan suatu kebenaran yang perlu diatur. Maka perlu mencurigai bahwa di dalam seks ada rahasia penting karena masyarakat butuh produksi kebenaran. Maka seks harus masuk dalam rejim tatanan pengetahuan (1997, 92). Meskipun tidak mampu mengimajinasikan kenikmatan baru, setidaknya menemukan kenikmatan akan kebenaran kenikmatan. Dari wacana tentang seks bisa ditarik kesimpulan adanya kenikmatan untuk mengetahui, menemukan, tertarik melihat, mengatakan, mempercayakan rahasia dan menjebak kelicikan (1997, 95). Kalau seks direpresi atau dilarang, berbicara tentangnya sudah merupakan bentuk pelanggaran. Terhadap situasi seperti itu, Foucault mengajukan pertanyaan. “Dari mana kita bisa sampai menyatakan bahwa seks disangkal, menunjukkan bahwa seks disembunyikan, mengatakan bahwa seks dibungkam, dan ini dengan merumuskan seks dalam kata-kata yang lebih tersurat, dengan berusaha memperlihatkan seks dalam realitasnya yang paling telanjang dengan menyatakan dalam bentuk yang bisa diraba dari kekuasaannya dan akibat-akibatnya” (1997:.16). Dengan pernyataan ini Foucault bukannya ingin menunjukkan hipotesa represif seks adalah keliru, tetapi ia ingin menempatkan wacana tentang seks dalam situasi masyarakat modern di mana mekanisme kekuasaan berlangsung melalui kehadiran secara terus menerus melalui wacana penuh perhatian, ingin tahu, merayu. Ada konspirasi kekuasaan-pengetahuan sehingga kekuasaan menjangkau sampai pada perilaku yang paling individual dan intim. Di media tulis, seks selalu ada dan menjadi kolom yang tak terlewatkan. Kolom itu biasa diasuh oleh seorang pakar: dokter, psikolog, psikiater. Kehadiran pakar ini adalah ilustrasi betapa kekuasaan-pengetahuan merambah kehidupan paling intim subyek. Perubahan tekanan dari kekuasaan-negara ke kekuasaan-subyek menandai keterputusan epistemologis. Les Mots et les Choses (1966) memperlihatkan bahwa subyek justru menjadi obyek pengetahuan. Keterputusan epistemologis itu ditandai dengan lahirnya manusia sebagai obyek pengetahuan bagi ilmu-ilmu manusia. Lalu manusia dimengerti sebagai subyek yang berbicara, subyek yang menghasilkan, subyek yang hidup. Setiap subyek ini dipelajari oleh ilmu-ilmu tersendiri: subyek yang bekerja dan menghasilkan dipelajari oleh ilmu ekonomi; subyek yang berbicara mendapat obyektivasi di dalam filologi dan linguistik; subyek yang hidup diteliti di dalam biologi. Banyaknya ilmu yang mempelajari subyek manusia berarti keberagaman wacana tentang manusia. Teknologi disipliner itu juga merambah sampai ke bidang ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu manusia abad 19 tidak bisa dilepaskan dari teknologi disipliner. “Ilmu-ilmu yang disambut baik oleh kemanusiaan kita sejak satu abad mempunyai acuan teknis disiplin dan investigasi penuh dengan detil- detil dan keculasan. Disiplin dan investigasi ini diterapkan dalam psikologi, psikiatri, pedagogi, kriminologi, dan pengetahuan-pengetahuan lain, seperti halnya kekuasaan penyelidikan yang dimiliki ilmu terhadap binatang, tumbuh- tumbuhan dan tanah. Setiap kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri” (Carette, 2011:.262-263). Maka seks masuk ke dalam rezim tatanan pengetahuan. Metode investigasi tetap melekat pada kekuasaan disipliner yang membentuknya. Investigasi semakin dimurnikan dengan menyatu pada ilmu- ilmu seperti psikologi. Tes, wawancara, interogasi, mau mengoreksi mekanisme- mekanisme disiplin dengan dalih supaya lebih manusiawi. Psikologi pendidikan mau mengoreksi rigoritas sekolah; wawancara dengan dokter/psikiater untuk mengoreksi akibat-akibat disiplin kerja. Teknik itu mencabut individu dari lembaga disipliner yang satu dan mengalihkan ke lembaga disipliner yang lain. Teknik-teknik itu mereproduksi skema kekuasaan-pengetahuan. Dengan demikian terlihat jelas menyebarnya kekuasaan, karena setiap pengetahuan memungkinkan dan menjamin pelaksanaan kekuasaan. Semakin berkembangnya subyek berarti semakin tersebar dan bertambahnya lingkup kekuasaan. Ada hubungan kesalingan antara kekuasaan dan wacana tentang seks sebagai pengetahuan. Sejarah Seksualitas ini atau serangkaian studi mengenai hubungan sejarah kekuasaan dan wacana tentang seks merupakan proyek yang saling melengkapi karena saling menjelaskan. Ada beberapa bentuk yang mengatur hubungan kekuasaan dan wacana seks (1997: 110). Hubungan negatif: wacana seks biasanya dirumuskan dalam bentuk penolakan atau penafikan. Wacana kekuasaan ingin menghambat, menyembunyikan atau memainkan topeng. Lalu kelihatan bahwa kekuasaan terhadap seks hanya bisa membuat larangan atau hanya bisa mengatakan tidak. Kekuasaan bisa mengambil bentuk instansi yang mengatur. Dalam hal ini, kekuasaan memberi peraturan, sah atau tidak, boleh atau dilarang. Dengan demikian, seks dipahami hanya dalam kerangka hukum. Kekuasaan membentuk lingkaran larangan sangat beragam, dari jangan berbicara; jangan mendekat; jangan menyentuh; sampai pada jangan melakukan. Tujuan lingkaran larangan ini ialah agar seks meninggalkan dirinya. Salah satu dimensi larangan adalah sensor. Logika sensor yang terpateri dalam larangan bisa mempunyai tiga bentuk, yaitu menyatakan tidak boleh; menghalangi jangan sampai dikatakan; menyangkal bahwa ada. Ketiga hal ini merupakan bentuk mekanisme sensor. Cara beroperasi sama di semua tingkat. Kekuasaan atas seks beroperasi dengan cara yang sama pada setiap tingkat, yaitu mereproduksi hukum, larangan dan sensor. Cara beroperasi ini berjalan secara sama baik di tingkat negara, keluarga, agama, penguasa, ayah, pengadilan atau semua instansi dominasi sosial. Jadi kekuasaan adalah banyaknya hubungan kekuatan yang melekat pada bidang di mana ia beroperasi; permainan melalui perjuangan dan bentrokan tanpa henti untuk mengubah, memperkuat dan membalikkan. Kekuasaan itu menyebar, ada di mana-mana. Syarat-syarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas. “Tentu saja harus menjadi nominalis: kekuasaan bukan suatu institusi, dan bukan struktur, bukan pula suatu kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat…Kekuasaan ada di mana-mana; bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana (1975:.122-123). Hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan hubungan seksual. Kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan dan ketidakseimbangan. Kalau orang biasanya berbicara tentang kekuasaan dan negara, sekarang bersama Foucault, fokus diletakkan pada hubungan kekuasaan dan subyek. Berlawanan dengan pandangan Marx, Foucault menentang paham kekuasaan yang disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan negara. Tekanan pada hubungan kekuasaan dan subyek mengandaikan banyaknya hubungan kekuasaan. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan dan beragamnya cara beroperasinya. Antara Kekuasaan dan Pengetahuan Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan.(Eriyanto, 2003:65) Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa pengertian tentang Kekuasaan menurut Foucault sama sekali berbeda dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat selama ini. Pada umumnya, kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini kekuasaan diartikan secara represif dan kadangkala malah opresif. Yakni adanya dominasi antara subjek dan objek kekuasaan. Semisal kekuasaan Negara pada masyarakat, raja pada rakyatnya, suami pada isteri, pemilik modal kepada para karyawannya. Pengertian semacam itu banyak digunakan oleh para ahli sejarah, politik dan sosial.(Haryatmoko, 2002:10) Bagi Foucault, kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan kekuatan yang imanen di bidang hubungan kekuatan itu berlaku. atau berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung hingga membentuk rangkaian atau sistem yang melahirkan kesenjangan dan kontradiksi yang saling mengucilkan. Sementara tempat terjadinya hubungan kekuatan itu berdampak pada ‘peminggiran’(Foucault: 1997) Foucault memperlihatkan cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault memahami kekuasaan sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada individu, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat. Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat, karena kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan, hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara isteri hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta merawat anak-anaknya. Atau contoh lain misalnya tentang karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya. Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi dalam bekerja. Setiap masyarakat mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu ekonomi wacana kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek kuasa. Namun Foucault berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari langit, dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini diproduksi, karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh wacana yang diproduksi dan dibentuk oleh kekuasaan. Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pengetahuan. Dalam penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran, sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu. Karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari strategi kekuasaan. Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing. Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain. Wacana mampu menepis segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun juga bisa memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar. Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat, menjadikan objek tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan, namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada yang berubah dari objek bakteri tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang melingkupinya kemudian kita memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat makhluk itu pada tumbuhan. Dalam perkembangan masyarakat modern tak bisa lepas dari peran media massa. Media massa bukan saja berperan sebagai penyampai informasi bagi masyarakat, namun lebih dari itu media juga berperan bagi pembentukan wacana yang akan melatari setiap zamannya. Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan media massa sangat mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat. Perempuan dan Kekuasaan Tubuh perempuan disepanjang sejarah peradaban manusia, bukanlah sekedar tubuh dalam pengertian biologis semata. Anatominya diperdebatkan, fungsinya diatur, perwujudannya digugat. Ini karena tubuh perempuan bukan semata-mata fakta deterministik, tubuh perempuan menyiratkan nilai, atau tubuh perempuan selalu menjadi sasaran nilai yang dibuat oleh otoritas diluar dari dirinya. Semenjak awal kemunculan feminis gelombang pertama, tubuh seringkali menyebabkan problem bagi perempuan sendiri. Tubuh dianggap sebagai penyebab terjadinya diskriminasi yang merugikan perempuan. Maka, dibedakanlah dua kategori perempuan, yaitu tubuhnya dan pikirannya. Melalui jalan ini, para feminis merasa dapat meredefinisikan posisinya, bahwa kecerdasaan kecil relevansinya dengan jenis kelamin. Jalan yang ditempuh ini, meski langkah awal untuk menyuarakan kesetaraan, ternyata tidak menyelesaikan persoalan tubuh perempuan itu. Sebaliknya pemilahan ini hanya semakin mengasingkan tubuh perempuan. Eksistensi tubuh memang membingungkan, mengapa demikian? Karena perempuan tidak pernah memahami arti kebertubuhannya sendiri. Tubuhnya ditentukan oleh budaya partriarki, ia selalu menjadi objek yang diluar, asing, tidak alamiah, dan komplementer bagi lelaki, “”the body of man makes sense in itself… Man can think of himself without woman. She cannot think of herself without man.” And she is simply what man decress; thus she is called ‘the sex’ by which is meant that she appears essentially to the male as a sexual being. For him she is sex—absolute sex, no less. She is defined and differentiated with reference to man and not he with reference to her, she is incidental, the inessential as opposed to the essential. He is the subject, he is the Absolut—she is the other.” (Foucault: 1997) Kesadaran perempuan terhadap tubuhnya adalah kesadaran palsu yang telah dibangun oleh tuntutan sosial. Karena itulah seringkali perempuan merasa janggal dengan tubuhnya sendiri, seolah-olah ia adalah penumpang yang dipaksakan untuk dapat memfungsikan tubuhnya sendiri. Ia dipaksa untuk berfungsi sesuai dengan budaya patriarki, rahimnya mewajibkannya untuk menjadi instrumen reproduksi, tubuh dan alat kelaminnya diobjektifikasikan sebatas identitas seksual saja. Ia tidak dilihat sebagai subjek, yang memiliki bahasa, tendensi, kecerdasan, kepekaan tersendiri. Ia selalu dilihat sebagai ‘the other’ sesuatu yang asing, alienasi inilah kondisi perempuan. Inilah kenyataan baginya, dasar baginya untuk menjalani kesehariannya, membangun relasi serta memproyeksikan dirinya. Alienasi ini menjadi cetakan bagi identitas perempuan, the otherness ini dianggap sebagai satu-satu caranya mengada. Melalui pemikiran Foucault, bahwa selalu terjadi represi dalam memahami seksualitas. Represi yang dilakukan baik dalam sistem nilai masyarakat, maupun yang dalam bentuk peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara. Atas dasar pandangan inilah maka sesungguhnya tubuh menjadi objek pengawasan, tubuh selalu dicurigai dan selalu dikekang, “Between the state and the individual, sex became an issue, and a public issue no less, a whole web of discourses, special knowledges, analyses, and injunctions settled upon it.” (Foucault: 1997) Tubuh tidak lagi milik individual, tetapi ia milik sosial, yang tidak lagi bebas mengekspresikan dirinya. Negara memiliki wewenang untuk membentuk wacana apa yang dianggap tepat tentang bagaimana tubuh sepantasnya diterima dan disikapi. Komunitas diperbolehkan mengintervensi norma-norma sosial yang dianggap layak. Diskriminasi terhadap kaum perempuan terjadi dikarenakan tubuh tidak lagi dianggap otonom, tetapi tubuh yang menjadi milik sosial dan negara. Tubuh yang seharusnya menjadi aktualisasi kebebasan seseorang, kini dikontrol hukum agama, tubuh tersebut diperbolehkan beraktivitas hanya sebatas bila aktivitas itu tidak menganggu kaidah agama dan sosial yang telah ditentukan. Negara berperan penting dalam menegakkan keseragaman pandangan ini, khususnya bila negara acuh melihat kekerasan serta pelecehan yang terjadi terhadap kaum perempuan. Kekuasaan dan seksualitas, Foucault menggarisbawahi, selalu berkaitan, khususnya bagaimana kekuasaan ditegakkan dengan mewacanakan seksualitas, “Power is essentially what dictates its law to sex. Which means first of all that sex is placed power in a binary system: licit and illicit, permitted and forbidden, secondly, power prescribes an order for sex that operates at the same time as a form of intelligibility: sex is to be deciphered on the basis of its relation to the law. And finally power acts by laying down the rule: power’s hold on sex is maintained through language, or rather through the act of discourse that creates, from the very fact that it is articulated, a rule of law.”(Foucault: 1997) Dalam Discipline and Punish, Foucault membuat suatu terminologi yaitu ‘Docile Bodies’ atau tubuh-tubuh yang patuh (submisif). Meski kaitan terminologi yang ia gunakan untuk menguraikan secara sosiologis serta filosofis tentang sistem penjara, namun konsep Tubuh yang Patuh ini dapat juga kita relevansikan dengan bagaimana sosial mengendalikan seksualitas individual. Negara melalui wacana berusaha mendikte seksualitas seseorang, misalnya, diskriminasi serta propaganda yang dibuat bahwa tubuh-tubuh tersebut harus hidup secara ‘bersih’ sebagai cerminan moral, agama serta pikiran yang ‘bersih’. Dalam pembahasan Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender misalnya, hanya pola seks yang heteroseksual yang dianggap pantas. Dominasi dan represi semacam ini dapat terjadi dan semakin mengkhawatirkan bila negara masih turut campur dalam urusan tubuh-tubuh individual. Inilah yang digugat oleh Foucault bahwa asumsi sosial, prasangka sosial dapat memburuk bila negara mendukung diskriminasi tersebut. Ada sebuah pernyataan yang diungkapkapkan oleh Basoeki Abdullah bahwa“Perempuan itu lebih cocok dilukis daripada sebagai pelukis. Disatu sisi perkataan ini menyanjung wujud perempuan sebagai objek seni yang indah, tetapi disisi sesungguhnya, perempuan tidak dianggap layak menjadi subjek yang memiliki gagasan ketika dihadapan kanvas. Objek utama lukisan memang bagi pelukis lelaki seringkali perempuan, khususnya perempuan yang dianggap cantik, molek, dan misterius untuk diterjemaahkan ke dalam kanvas. Tetapi meski menjadi simbol keindahan, ia tetaplah objek, ia tidak bebas dan sesungguhnya realitas yang dimunculkan diatas kanvas adalah simulacrum yang diimajinasikan oleh peradaban tentang perempuan. Bagaimana sesungguhnya perempuan atau, etre pour soi, dari eksistensi perempuan sama sekali tidak ditonjolkan ketika ia sebatas menjadi objek keindahan. Dalam mitologi-mitologi, perempuan selalu muncul sebagai perwujudan dari inspirasi seni. Dalam tradisi mitologi Yunani, ilham dari seorang seniman merupakan anugerah dari para dewi-dewi Muse. Begitu juga di dalam mitologi Hindu, Dewi Saraswati dianggap sebagai sumber inspirasi, para seniman berdoa padanya untuk diberikan inspirasi. Kuil dibangun untuk memuja dan merayakan dewi-dewi ini. Perempuan hanya dijadikan fantasi lelaki, bahwa perempuan simbol rasa aman yang ingin dicari oleh lelaki, simbol kesucian, keindahan yang sifatnya sangat palsu. Rekognisi keindahan semacam ini, meski terlihat indah serta memikat diatas kanvas, namun sesungguhnya menyiratkan bentuk represi yang subtil. Bahwa tubuh perempuan selalu diburu konsep kecantikannya, tubuhnya selalu kontroversial. Apa yang indah juga apa yang buruk dalam perempuan memang tidak ditentukan ditangannya, ada standar metanaratif, bahwa perempuan berharga karena ia indah dan rapuh, bukan karena ia perempuan yang memiliki berbagai partikularitas diluar dari apa yang nampak dipermukaan kulitnya. Di dalam realitas patriarki, keindahan dan kecantikan adalah terminologi yang diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan dituntut untuk menjadi indah, meski keindahan itu harus ia lalui dengan kesengsaraan. Menjadi indah tidak lagi aksiden bagi si perempuan, tetapi menjadi indah adalah totalitas dari eksistensinya. Sosok indah, mengharuskannya bersikap benar, santun, pantas, dalam bertutur dan bersikap. Dalam pengertian ini, tubuh menjadi penjara senyap bagi perempuan, tubuhnya sudah dikonstruksikan, memanipulasi apa yang harus ia katakan dan pikirkan. Budaya Patriarki lahir dari kekuasan pengetahuan masyarakat terhadap perempuan yang terus memasung atas nama norma, etika, dan juga atas nama Tuhan. Tubuh perempuan hanya dijadikan sebagai alat reproduksi yaitu melahirkan keturunan. Untuk itu, tubuh perempuan harus suci dari dosa dan sakit. Siapapun perempuan yang ternyata sudah tak lagi perawan, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial sebagai perempuan yang tak suci dan sebagai perempuan yang tidak baik, sebagai calon istri dan ibu. Budaya ini pula yang memberikan kesan bahwa perempuan wajib berada di dalam rumah sepanjang hidupnya ketika menjadi ibu rumah tangga, untuk menjaga anak-anak dan rumahnya, sementara laki-laki (suami) bertanggung jawab atas nafkah rumah tangga, sehingga ketika perempuan memilih untuk berkarir di luar rumah, untuk membantu memcari nafkah keluarga, maka ia pun akan mendapatkan sanksi sosial. Pilihan hidup perempuan di budaya patriarki ini menjadi serba salah. Bahkan ada anekdot sebuah kisah lahirnya seorang bayi, namun kemudian langsung meninggal, ketika Tuhan bertanya pada sang bayi alasannya meninggal, sang bayi berkata, “Karena saya lahir sebagai perempuan”. Hal ini menunggambarkan bahwa pengaruh patriarki terhadap perempuan sangat kuat. Bahkan ketika perempuan memilih untuk tidak menikah atau memilih bersekolah hingga tingkat tertinggi pun tetap menjadi salah. Jika di ranah domestik dan di ranah publik saja, gerak perempuan dibatasi, lalu bagaimana dengan dunia politik yang didominasi oleh laki-laki ?. inilah yang kemudian nanti menjadi tema penelitian disertasi saya. Penutup/Kesimpulan Secara ontologis, tidak ada manusia yang bisa memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Artinya menjadi perempuan itu bukan pilihan, begitu juga dengan menjadi laki-laki. Jika ternyata peran dan fungsi keduanya dibedakan, itu masih wajar, tapi jika dibatasi hingga terjadi ketertindasan atau ketidakadilan bagi satu pihak demi pihak yang lain, maka hal itu disebut dengan intimidasi. Misalnya saja, mengapa perempuan harus perawan sebelum menikah?, dan mengapa bercak darah di malam pertama menjadi ukuran, sementara laki-laki tidak demikian?. Keharusan perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah bentuk dari kekuasaan kultur masyarakat. Jika tidak demikian, maka di perempuan tersebut akan dikenai sanksi sosial sebagai perempuan tidak baik-baik. Klasifikasi perempuan baik-baik atau tidak baik-baik menjadi kesenjangan yang hegemonik. Karena, jika perempuan baik-baik berteman dengan perempuan yang tidak baik-baik, akan mendapatkan sanksi sosial sebagai bagian dari mereka. Kekuasaan ini tidak hanya diberlakukan dalam kultur masyarakat, namun juga di dalam instutusi keluarga. Jika perempuan itu memilih menjadi perempuan tidak baik-baik, maka ia pun akan teralienasi dari keluarga. Namun pertanyaannya adalah, keluarga yang seperti apa?. Jika keluarga kelas menengah keatas, mungkin hal itu menjadi konflik, namun jika keluarga kelas menengah ke bawah, tidak menjadi konflik yang berkepanjangan. Perbedaan antar kelas di institusi keluarga pun menyebabkan bias pada perempuan. Kembali pada persoalan seksualitas, bahwa seks adalah kesenangan. Seks adalah salah satu kebutuhan fisik manusia, sebagaimana sama dengan makanan atau minumam. Namun kemudian menjadi sesuatu yang privat, yang tidak boleh menjadi konsumsi publik karena ada otoritas agama atau polisi moral yang membatasi wacana seks sebagai wacana publik. Ketika perempuan tidak lagi perawan atau sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, maka ia tidak hanya mendapatkan sanksi sosial, namun juga mendapatkan sanksi agama, sebagai pelaku zinah, yang harus mendapatkan hukuman. Ketidakadilan terjadi dikala sanksi tersebut hanya dibebani pada perempuan saja, padahal hubungan seksual itu tidak mungkin dilakukan oleh perempuan itu sendiri, yaitu ada keterlibatan laki-laki dalam hal tersebut, namun mengapa lakai-laki bisa melenggang asyik dalam kultur yang demikian ini?. Hal ini lah yang kemudian di perjuangkan oleh para feminis, untuk keadilan jender.. Pada akhrinya, wacana seksualitas atau perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma atau nilai kultur masyarakat terhegemoni oleh pemilih kuasa moral, yaitu agama melalui mulut-mulut masyarakat berupa streotipe terhadap perempuan yang tidak perawan sebelum menikah atau perempuan yang begitu gamblang berbicara tentang seks. Inilah yang oleh Foucault disebut dengan genelogi pengetahuan..... DAFTAR PUSTAKA George Ritzer & Barry Smart, “Handbook Teori Sosial”. Penerbit Nusa Media Bandung 2012 George Ritzer & Douglas J. Goodman, “Teori Sosial Modern”. Prenada Media Jakarta edisi 6 2004 Jeremy R. Carette “ Agama, Seksualitas, Kebudayaan Foucault” Jalasutra Yogyakarta 2011 Michel Foucault “Kegilaan dan Peradaban”. Teralitera Yogyakarta 2002 _______________, “Seks dan Kekuasaan”, Gramedia Pustaka Utama Jakarta1997 Rosemarie P. Tong, “Feminist Thought”. Jalasutra Yogyakarta 2010 Ann Brooks, “Posfeminisme & Culture Studies”. Jalasutra Yogyakarta 2010 Lydia, Foucault, “Foucault Untuk Pemula” Kanisius, 2001 Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis, Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001) K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jogjakarta, Kanisius) George ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. (Jojakarta, Kreasi Wacana, 2003) Eriyanto, “Analisis Wacana” Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003. Haryatmoko, “Kekuasan melahirkan Anti Kekuasaan” dalam Jurnal Basis No 01-02 Tahun ke-51, Januari-Februari 2002. Lydia Alix Fillingham, “Foucault Untuk Pemula” Kanisius, 2001, hal. 12 George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas” Jurnal kalam No. 1, 1994

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo; Faisal Oddang)

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo) Dalam kitab La Galigo telah dijelaskan bahwa ada sepasang pemimpin di Dunia Tengah –pertama adalah manusia laki-laki yang datang dari Dunia Atas–dan yang kedua adalah manusia perempuan yang datang dari Dunia Bawah. Namun agar seimbang dalam hidup manusia, maka diturunkanlah pula manusia bissu, sebagai pengatur tatanan spiritual di muka bumi. Perlu diketahui bahwa seorang bissu bukan laki-laki, bukan pula perempuan dan bukan jua waria atau apalah sebutan yang berkenaan dengan itu. Namun lebih tepatnya, bissu adalah sesok penasehat di tanah Wojo–dan tidak gampang menjadi seorang penasehat di tanah itu. Karena yang menjadi bissu hanyalah orang-orang pilihan Dewata yang sudah diberi wahyu hlm. 60. Itulah pokok isi dari kisah yang diangkat dalam novel Tiba Sebelum Berangkat-nya Faisal Oddang–yang ditulis kira-kira pada rentang tahun 2016-2018. Memang tidak salah jika saya mengakatan bahwa menulis novel sejarah itu berat–setelah

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani (Resensi-Hakekat Tuhan-Cicero)

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani Memperdebatkan ada dan tidak adanya Tuhan dalam realitas hidup yang kita rasakan ini: memang tidak ada pangkal ujung kalah dan menangnya–meskipun dari pakar filsafat yang memang tujuannya belajar filsafat hanya untuk mencari jejak-jejak keberadaan Tuhan. Misalnya ketika saya sesekali ikut dalam forum-forum diskusi filsafat–yang mepertanyakan hakekat Tuhan: apakah kita percaya bahwa tuhan itu tidak ada. Atau kita percaya bahwa Tuhan itu ada hanya menurut keyakinan hati nurani kita, karena Tuhan tak bisa dilogiskan secara pemikiran. Sesungguhnya disitulah yang menjadi misteri dari zaman ke zaman yang selalu diperdebatkan oleh pemikir-pemikir filsafat kontemporer sekarang ini. Sebab, terkadang di dalam diskusi-diskusi mengenai Tuhan berakhir dengan ketidakpuasan sebuah kesimpulan tentang kepastian Tuhan: ada atau tidak ada. Namun, adakah mereka tahu: bahwa sesungguhnya memperdebatkan hakikat Tuhan, tidak hanya berdasar