Merekam
Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani
Memperdebatkan
ada dan tidak adanya Tuhan dalam realitas hidup yang kita rasakan ini: memang
tidak ada pangkal ujung kalah dan menangnya–meskipun dari pakar filsafat yang
memang tujuannya belajar filsafat hanya untuk mencari jejak-jejak keberadaan
Tuhan.
Misalnya ketika saya sesekali ikut dalam forum-forum
diskusi filsafat–yang mepertanyakan hakekat Tuhan: apakah kita percaya bahwa
tuhan itu tidak ada. Atau kita percaya bahwa Tuhan itu ada hanya menurut
keyakinan hati nurani kita, karena Tuhan tak bisa dilogiskan secara pemikiran.
Sesungguhnya
disitulah yang menjadi misteri dari zaman ke zaman yang selalu diperdebatkan
oleh pemikir-pemikir filsafat kontemporer sekarang ini. Sebab, terkadang di
dalam diskusi-diskusi mengenai Tuhan berakhir dengan ketidakpuasan sebuah
kesimpulan tentang kepastian Tuhan: ada atau tidak ada.
Namun,
adakah mereka tahu: bahwa sesungguhnya memperdebatkan hakikat Tuhan, tidak
hanya berdasarkan pengetahuan yang kita dapat dari asumsi pikiran sendiri.
Semestinya–kita harus mempunyai pijakan-pijakan terlebih dahulu mengenai ilmu
tentang ketuhanan: demi dialogisnya sebuah perdebatan tentang hakekat Tuhan.
Seperti
dalam sejarah filsuf-filsuf Yunani di
abad 18 silam–segala pemikiran mereka trutama di bidang filsafat–sangat di
pengaruhi oleh buku Hakikat Tuhan –karya
Marcus Tullius Cicaro – seorang politikus sekaligus filsuf Romawi yang saat itu
bukunya menjadi energi perkembangan alam pemikiran Yunani.
Maka,
mereka para filsuf tidak lepas dari buku tersebut sebagai pijakan filosofis
untuk memperdebatkan hakekat Tuhan. Sebagaimana dalam buku tersebut yang
menggambarkan perdebatan antara filsuf
Velleius–seorang murid yang setia pada gurunya, Epokuros: bapak dari
kaum Epikurean. Sementara, Cotta adalah seorang filsuf Stoikisme–yang dibimbing
oleh Zeno dari Citium sebagai guru dari kaum stoik.
Kemudian,
perdebatan tersebut dibuka dari argumen Velleius–dengan penalaran filsafat
alamnya–yang menyatakan tentang hakikat Tuhan. Tuhan itu ada berdasarkan
pesetujuan umum, tidak hanya dari semua filsuf–melainkan juga dari orang-orang
yang buta huruf. Karena, ia berpijak pada perkataan Epokuros: bahwa yang
memilik kekekalan dan kebahagiaan paling agung adalah Tuhan –jelas yang paling
agunglah yang patut disembah oleh semua manusia (hlm. 31-32).
Kemudian,
hadirlah Cotta–membantah argumen Velleius yang menyatakan Tuhan itu ada akibat
persetujuan umum. Cotta membantah karena, argumennya sangat lemah untuk
meyakinkan pada publik, bahwa zat Tuhan itu nyata. Pertama, bagaimana Velleius
mengetahuinya dari semua orang bahwa yakin pada Tuhan itu ada, kedua, Cotta
sangat yakin bahwa ada banyak orang yang masih tidak peduli sehingga tidak
memikirkan Tuhan (hlm. 40).
Karena,
Cotta membantah zat Tuhan tidak ada–berdasarkan pada makna kisah Protagoras
yang diusir dari Ahena–karena menuliskan kata-kata: “saya belum sampai pada
pengetahuan apakah Tuhan itu ada” dalam bukunya, sehingga buku tersebut dibakar
didepan para filsuf. Namun, perdebatan tersebut tidak berakhir di situ semata,
karena Velleius masih meyakini Tuhan itu ada dengan menganalogikan Tuhan itu
adalah alam semesta.
Seperti
dicontohkannya sendiri melalui perkataan Chrysippus, ia mengatakan bahwa
seperti halnya peti yang dibuat untuk perisai–dan sarung untuk pedang. Jadi,
segala sesuatu kecuali alam semesta dibuat untuk sesuatu lainnya. Maka,
kesempurnaan hanya milik alam semesta yang berkuasa atas manusia, bagi
Velleius. Karena, bumi telah manghasilkan tanaman dan buah-buahan untuk hewan,
dan hewan untuk manusia, seperti kuda untuk angkutan, sapi untuk membajak (hlm.
98-99).
Selanjutnya,
Cotta membantah pernyataan Velleius, jika saya percaya bahwa Tuhan membangun
dunia. Tetapi, bagaimana jika yang saya yakini ini bermaksud untuk membutikan
ini adalah hasil karya alam?. Namun, sakaligus Cotta juga percaya jika alam
mempunyai keselarasan dan saling terikat dan menyatu dengan erat. Tetapi, ia
mulai renggang di saat Velleius menyatakan Tuhan yang menyatukan–karena,
sesungguhnya bukan Ilahi–akan tetapi adalah adanya kekuatan alam sendiri (hlm.
186).
Jadi,
dari beberapa dialog filsuf antara Cotta dan Velleius yang sangat dialogis dan
berpengaruh mengenai hakikat Tuhan yang saya gambarkan di atas tersebut– dalam
paham saya, bukanlah sebuah pembenaran bahwa Tuhan tidak ada maupun ada.
Tetapi, cenderung lebih meyakinkan sebuah argumen yang bisa diterima dengan
logis oleh semua pemikiran manusia.
Maka, di sini saya bisa mengambil
pelajaran dari buku Hakikat Tuhan
tersebut: bahwa mengenai Tuhan ada dan tidak ada itu tergantung pada kekuatan
persepsi masing-masing manusia terhadap kepercayaan yang ia yakini sebagai
pedoman hidup. Sebab, bagi saya Tuhan tidak perlu diperdebatkan–apalagi sampai
menimbulkan amarah yang berakhir dengan adu fisik–akan tetapi, cukup kita yakin
dan percaya sudah cukup sebagai manusia yang mayoritas memeluk masing-masing
suatu kepercayaan dalam agama yang berbeda-beda di Negara Indonesia kita ini.
Komentar
Posting Komentar