DALAM novel Ular Tangga, Anindita bercerita sebagai tokoh bocah istimewa dan pemberani yang ingin mengungkap sejarah kelam kondisi sosial orang-orang kumuh di daerah Tambalsulam, dengan dibumbui celotehan-celotehan satir terhadap pemerintah yang kurang peduli kepada rakyat jelata di daerah pedalaman. Bocahlah di sini yang menjadi tokoh penting untuk menyampaikan gagasan-gagasan satirnya, dengan ditemani tokoh-tokoh absurdnya: Sungai Purba, Rel Kereta Tua, Nenek, Bung Anu, dan Kerakbesi.
Saya kadang kesulitan membedakan mana nama tokoh dan mana nama tempat. Sebab, semua tokoh dalam novel ini tidak memiliki nama sebagai identitas yang menunjukkan sebagai nama diri. Hanya dalam Tanah Tabu-lah yang tokohnya memiliki nama diri. Seperti Leksi, Pum, dan Kwee di antaranya.
Mengenai cerita satir, barangkali sudah menjadi ciri khas Anindita untuk menuangkan unek-unek imajinya ke dalam cerita yang kemudian menjadi novel. Seperti cuplikan cerita dalam novelnya sebagai berikut,
Di tempat ini, kedatangan-kedatangan pagi selalu disapa biasa-biasa saja, tidak seistimewa orang-orang kota yang menyambutnya dengan pakaian licin-bersih, juga sarapan enak beraroma mimpi baru. Bagi orang-orang miskin, pagi tidak berarti apa-apa selain tuntutan untuk mempersiapkan punggung lebih kuat demi menahan beban roda kehidupan yang akan kembali menggelinding di atasnya. Gelindingan yang keras, berat, dan kejam lagi. Sekali lagi. Dan terus lagi (hlm 16).
Saya penasaran, apakah cerita yang diangkat dalam Ular Tangga memang realistis dari data-data penelitian di suatu daerah yang benar-benar ada dalam negara Indonesia–atau hanya cerita rekaan yang dihasilkan imaji seorang Anindita sebagai refleksi kritikan terhadap kaum kapitalisme.
Saya beranggapan, menanggapi suatu kondisi sosial yang kacau tidak selalu dengan cara menyindir lewat status Facebook, atau dengan membuat kata-kata kritikan melalui meme yang kemudian disebar ke berbagai media online: sebagai bentuk tanggapan terhadap kondisi sekitar. Namun, hasil tersebut hanyalah tanggapan yang bersifat sementara.
Tetapi, alangkah baiknya, kita bisa menanggapi dengan banyak kata-kata berkualitas dengan penuh gagasan luas dalam bentuk karya sastra. Seperti Anindita lewat novelnya, yang mampu menanggapi dengan bahasa kritikan halus terhadap lingkungan yang kurang kondusif: dalam hal ekonomi maupun kesejahteraan rakyatnya.
Namun, di luar semua persoalan absurd atau tidaknya sebuah penamaan atas tokoh-tokoh yang dibuat dalam novelnya, barangkali itu menjadi kekurangan dan kelebihan tersendiri bagi seorang penulis Anindita. Bagi saya, kelebihan itulah yang menjadi kekuatan untuk menyempurnakan sisa-sisa kekurangan itu dengan menghasilkan novel tebal –yang mungkin dalam kaum penulis perempuan Indonesia belum terlihat menulis novel setebal Ular Tangga ini.
Dengan terbitnya novel ini, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran baru dari sindiran-sindiran yang disampaikan di bagian-bagian ceritanya. Saya meresensi sebagai apresiasi terhadap karya penulis perempuan yang peduli kepada nasib buruk orang-orang pinggiran yang membutuhkan perhatian pemerintah.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar