Langsung ke konten utama

Teka-Teki Pembuatan Jagat Raya Dalam Puisi-Catatan Kaki Untuk Buku Puisi-Resep Membuat Jagat Raya-Abinaya Ghina Jamela

Berbicang-bincang tentang puisi-puisi pilhan Abinaya Ghina Jamela ini dalam antologi tunggalnya Resep Membuat Jagat Raya. Seorang perempuan cilik yang masih berusia tujuh tahun ini asal Padang Sumatra Barat. Jiwa saya seperti terbawa ke masa kanak-kanak kembali ketika membacanya, karena puisi-puisinya yang jujur dengan lugas mengungkapkan perasaanya tampa muluk-muluk mengolah kata, dengan menyusupkan tema-tema sosial sekaligus seperti keunikan pada setiap judulnya, misalkan Mi, Es Krim 1, Es Krim 2 dan Wafer atau tentang hewan Nyamuk, Kodok, Ayam, dan masih banyak beragam jenis tema namun Abinaya dengan riang mampu mengungkapkan dengan puitis. Penyair ini sangat muda lahir Oktober 2009 sudah mampu menulis puisi sepeka ini, barangkali bagi saya Abinaya-lah yang paling kecil di antara penyair-penyair cilik di Indonesia.
Namun jangan heran jika kelak ia mampu dengan senjata puisi-puisinya yang unik mengalahkan karya penyair-penyair yang lebih dewasa darinya, sebab usia bukan manjadi barometer dalam kratifitas berkaya. Dan lebih bangganya lagi Indonesia ini dan saya, dengan kejiniusan yang Abinaya miliki ia memasukkan apa yang ia lihat dan di raskan sehari-hari dengan sekecilpun yang menjadi unek-unek dalam.
Imaji ia tulis, melalui kacamata empiris dan rasa hati. Seperti terlihat pada judul-judulnya yang unik; Roti Lapis Abinaya menggambarkan bagaimana bentuk dan rasa roti lapis ketika bersarang dalam mulutnya, seperti kalimat pertama, Ada pelangi di mulutku yaitu roti lapis dan ada dua lapis roti  bentuk roti dalam imaji Abinaya di ibaratkan pelangi adalah warna  lapisan roti yang berbeda warna. Atau Hociko adalah nama anjing, anjing yang setia kepada tuannya sampai mati.
Namun dengan kecerdikan Abinaya mampu mengisahkan dalam puisinya, seperti tapi tuannya sudah mati, tak datang-datang haciko tetap menunggunya  Abinaya mengilustrasikan kisah anijng yang menunggu tuannya di depan pintu kereta, namun tidak tahu tuannya telah mati, namun tidak hanya manusia yang mempunyai perasaan setia kepada pasangannya, anjing pun mempunyai rasa setia yang lebih dengan menunggu tuannya sampai mati dalam penantian di depan kereta tersebut. Dengan kepekaan Abinaya mampu mengungkapkapkan dengan bahasa yang mudah di mengerti pembaca dalam puisinya, yaitu semua kepekaan dirinya dalam beradaptasi dengan flm Haciko tersebut yang memang judul puisinya Haciko.
Namun Abinaya menulis tidak hanya dengan bahan-bahan lingkungan dan keseharianya, yang selalu di gelisahkan, namun ia jugak mengimpor refrensinya melalui buku-buku sekelas dengan penulis dewasa, seperti karyanya Pram atau Hemingwai sebagai bahan pondasi puisi-puisinya, lalu dalam pengalaman membaca Abinaya bertanya dalam puisinya, kenapa aku membaca? Biar pintar seperti bunda penggalan puisinya yang berjudul Ketika Aku Membaca Buku disini Abinaya bertanya kepada dirinya sendiri kenapa aku membaca karena si-Abinaya ini ingin pintar seperti ibunya kelak.
Sedemikan sederhana bahasa namun mampu mengungkapkan kejujuran hatinya, barangkali kenapa Abinaya bertanya seperti itu dalam puisinya, karena bimbingan orang tuanya yang selalu menyemangati dengan peran ibu yang lebih sayang kepada anaknya mampu mendidik Abinaya agar menjadi anak pintar. Barangkali anggapan saya semoga benar Abinaya ini kelak pasti menjadi penyair besar. Mampu melengserkan kedudukan penyair-penyair perempuan seperti Ulfatin Ch atau Dhoreta Herli Yana yang terdengar selalu namanya di dunia kepenyairan Indonesia amin.

*Norrahman Alif. Lahir di Sumenep Madura Jawa Timur, 01 Mei 1995. Penulis bergit di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo; Faisal Oddang)

Menulis Novel Sejarah Itu Berat (resensi buku La Galigo) Dalam kitab La Galigo telah dijelaskan bahwa ada sepasang pemimpin di Dunia Tengah –pertama adalah manusia laki-laki yang datang dari Dunia Atas–dan yang kedua adalah manusia perempuan yang datang dari Dunia Bawah. Namun agar seimbang dalam hidup manusia, maka diturunkanlah pula manusia bissu, sebagai pengatur tatanan spiritual di muka bumi. Perlu diketahui bahwa seorang bissu bukan laki-laki, bukan pula perempuan dan bukan jua waria atau apalah sebutan yang berkenaan dengan itu. Namun lebih tepatnya, bissu adalah sesok penasehat di tanah Wojo–dan tidak gampang menjadi seorang penasehat di tanah itu. Karena yang menjadi bissu hanyalah orang-orang pilihan Dewata yang sudah diberi wahyu hlm. 60. Itulah pokok isi dari kisah yang diangkat dalam novel Tiba Sebelum Berangkat-nya Faisal Oddang–yang ditulis kira-kira pada rentang tahun 2016-2018. Memang tidak salah jika saya mengakatan bahwa menulis novel sejarah itu berat–setelah

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani (Resensi-Hakekat Tuhan-Cicero)

Merekam Tuhan dalam Pemikiran Filsuf-Filsuf Yunani Memperdebatkan ada dan tidak adanya Tuhan dalam realitas hidup yang kita rasakan ini: memang tidak ada pangkal ujung kalah dan menangnya–meskipun dari pakar filsafat yang memang tujuannya belajar filsafat hanya untuk mencari jejak-jejak keberadaan Tuhan. Misalnya ketika saya sesekali ikut dalam forum-forum diskusi filsafat–yang mepertanyakan hakekat Tuhan: apakah kita percaya bahwa tuhan itu tidak ada. Atau kita percaya bahwa Tuhan itu ada hanya menurut keyakinan hati nurani kita, karena Tuhan tak bisa dilogiskan secara pemikiran. Sesungguhnya disitulah yang menjadi misteri dari zaman ke zaman yang selalu diperdebatkan oleh pemikir-pemikir filsafat kontemporer sekarang ini. Sebab, terkadang di dalam diskusi-diskusi mengenai Tuhan berakhir dengan ketidakpuasan sebuah kesimpulan tentang kepastian Tuhan: ada atau tidak ada. Namun, adakah mereka tahu: bahwa sesungguhnya memperdebatkan hakikat Tuhan, tidak hanya berdasar

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault”

Perempuan dan KEKUASAAN “Sebuah Catatan Kecil tentang Pemikiran Seksualitas Foucault” Oleh : Novi Kamalia Abstraksi Ada beberapa pertanyaan yang terus mengusik dan mengganggu pikiran saya pribadi sejak dulu, yaitu tentang perempuan, seks, dan kultur, mengapa perempuan harus ‘perawan’ sebelum menikah?. Mengapa keperawanan menjadi satu-satunya ukuran perempuan baik-baik?, Mengapa perempuan selalu disalahkan ketika tidak mampu hamil?, dan yang lebih mirisnya lagi, mengapa perempuan dengan mudahnya menerima semua itu sebagai takdirnya yang memang harus dijalani tanpa adanya sikap kritis?. Lalu bagaimana dengan laki-laki, apakah laki-laki juga harus perjaka sebelum menikah?, lalu apa tandanya?. Tak bisakah sistem pemilu diadopsi oleh laki-laki, setelah ‘nyoblos’ langsung pake ‘tinta’?. Lalu apakah laki-laki juga memikul beban salah, jika ia tak memiliki keturunan? Pertanyaan itu terus membuat saya muak dan marah, karena saya sebagai perempuan menganggap ini sangat tidak adil. Ironisnya